Mas Pur Seorang freelance yang suka membagikan informasi, bukan hanya untuk mayoritas tapi juga untuk minoritas. Hwhw!

Home » Sejarah » Latar Belakang Pertempuran Surabaya (10 November 1945)

Latar Belakang Pertempuran Surabaya (10 November 1945)

4 min read

Pertempuran Surabaya (10 November 1945) – Pertempuran Surabaya merupakan peristiwa sejarah perang antara pihak tentara Indonesia dan pasukan Sekutu. Peristiwa besar ini terjadi pada tanggal 10 November 1945 di Kota Surabaya, Jawa Timur. Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasionak pahlawan Indonesia terhadap kolonialisme.

Latar Belakang Pertempuran Surabaya

Berikut ini penjelasan tentang latar belakang dan jalan pertempuran.

Tentara Sekutu mendarat di Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945, di bawah pimpinan Brigjen Aubertin Walter Sothern (A.W.S.) Mallaby yang berkebangsaan Inggris. Kedatangan mereka ketika itu disambut oleh Gubernur Jawa Timur, yaitu R.M.T.A. Soeryo.

Dalam pertemuan dengan Gubernur Soeryo, disepakati bahwa Inggris dipersilahkan memasuki kota dan mendatangi objek-objek yang sesuai dengan tugasnya, seperti tempat tahanan. Namun, kesepakatan ini dilanggar oleh pasukan Inggris dengan menduduki kantor pos besar, pangkalan angkatan laut di Tanjung Perak, gedung Bank Inferio, serta lokasi-lokasi penting lainnya keesokan harinya. Bahkan pada tanggal 27 Oktober 1945, pasukan Inggris menyebarkan pamflet menggunakan pesawat tempur, yang berisi perintah agar rakyat Surabaya dan Jawa Timur menyerahkan senjata yang telah mereka rampas dari tentara Jepang.

Baca: Pelucutan Senjata dan Pengambilalihan Aset Jepang

Melihat hal ini, gubernur sebagai pimpinan pemerintah daerah memerintahkan agar para pemuda dan rakyat Surabaya bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.

Kontak senjata pertama dengan Inggris terjadi siang hari pada tanggal 27 Oktober 1945 tersebut, yang kemudian meluas dnegan cepat dan berubah menjadi perlawanan merebut kembali lokasi-lokasi penting yang telah diduduki oleh tentara Sekutu. Selanjutnya, pada tanggal 28 Oktober 1945, lokasi-lokasi penting itu berhasil direbut kembali oleh para pemuda.

Terdesak oleh serangan rakyat Surabaya, A.W.S. Mallaby meminta bantuan kepada Mayjen D.C. Hawthorn, komandan tentara Inggris di Jawa. D.C. Hawthorn lalu menghubungi Presiden Soekarno, meminta bantuannya untuk menyelesaikan pergolakan.

Keesokan harinya pada tanggal 29 Oktober 1945, Soekarno didampingi Wakil Presiden Moh. Hatta, Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin, dan Mayjen D.C. Hawthorn tiba di Surabaya. Di Surabaya, dengan sebuah jeep pinjaman Inggris, Soekarno berkeliling menyerukan gencatan senjata sambil menunggu hasil perundingan antara Indonesia dan Sekutu (Inggris).

Meskipun gencatan senjata disepakati, aksi tembak-menembak secara sporadis masih terus terjadi di beberapa tempat. Pada 30 Oktober 1945, Ssurabaya, Mobil Buick yang ditumpangi A.W.S. Mallaby menjadi sasaran tembakan saat hendak melintasi Jembatan Merah. Terjadi baku tembak di tempat itu, yang berakhir dengan tewasnya Mallaby. Sementara itu, mobil Mallaby hangus terbakar akibat ledakan sebuah granat.

Kematian Mallaby itu menjadi dalih bagi Inggris untuk menggempur rakyat Surabaya dan menuntut “menyerah tanpa syarat”.

Pada tanggal 7 November 1945, pimpinan tentara Inggris yang baru, Mayor Jenderal E.C. Marsergh menulis surat kepada Gubernur Soeryo. Surat itu pada intinya berisi kecaman atas matinya Mallaby serta tudingan bahwa sang Gubernur tidak mampu mengendalikan rakyatnya sendiri. Soeryo membalas surat Marsergh pada tanggal 9 November, yang pada intinya membantas semua tuduhan.

Marsergh kemudian membuat surat balasan dengan nada yang tegas dan keras. Isi surat tersebut berbunyi: Inggris bertekad menuntut balas atas kematian Mallaby. Bagian lain dari surat bahkan berisi perintah kepada seluruh pimpinan Indonesia, kepala pemuda, kepala polisi, kepala pemerintah agar melapor pada waktu dan tempat yang telah ditentukan dengan melatakkan tanda tangan mereka di atas kepala.

Selanjutnya, mereka harus menandatangani dokumen berisi penyerahan tanpa syarat, dan para pemuda yang bersenjata harus menyerahkan senjatanya sambil membawa bendera putih sebagai tanda menyerah. Batas waktu yang ditentukan paling lambat pukul 06.00 tanggal 10 November 1945. Jika ultimatum ini tidak diindahkan, Inggris akan mengerahkan seluruh kekuatan angkatan perangnya untuk menghancurkan Surabaya.

Tepat pukul 22.00 tanggal 09 November 1945, setelah merundingkannya dengan pemerintah pusat, Gubernur Soeryo melalui siaran radio menolak ultimatum Inggris tersebut.

Maka, setelah batas waktu ultimatum habis, pertempuran tidak bisa dielakkan. Kontak senjata pertama terjadi di Tanjung Perak. Di tempat ini, pasukan Inggris berhasil mengendalikan perlawanan rakyat Surabaya. Banyak korban berjatuhan, tetapi rakyat Surabaya bersama-sama Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terus melakukan perlawanan. Mereka memilih “merdeka” atau “mati”.

Setelah pertempuran berlangsung, di mana Inggris mulai menggempur Surabaya melalui darat, laut, dan udara, dua tokoh berikut ini tidak pernah diam, yaitu Bung Tomo dan Ir. Soekarno. Bung Tomo (1920-1981) dengan gigih dan berapi-api membakar semangat para pemuda dan masyarakat Surabaya dengan pidato-pidatonya di radio.

Pidato Bung Tomo

Berikut pidato lengkap Bung Tomo yang membakar semangat rakyat Surabaya:

Bismillahirrohmanirrohim..
Merdeka!!!

Saudara-saudara rakyat jelata di seluruh Indonesia terutama saudara-saudara penduduk kota Surabaya.
Kita semuanya telah mengetahui.
Bahwa hari ini tentara Inggris telah menyebarkan pamflet-pamflet yang memberikan suatu ancaman kepada kita semua.
Kita diwajibkan untuk dalam waktu yang mereka tentukan,
menyerahkan senjata-senjata yang telah kita rebut dari tangannya tentara Jepang.
Mereka telah minta supaya kita datang pada mereka itu dengan mengangkat tangan.
Mereka telah minta supaya kita semua datang pada mereka itu dengan membawa bendera putih tanda bahwa kita menyerah kepada mereka

Saudara-saudara.
Di dalam pertempuran-pertempuran yang lampau kita sekalian telah menunjukkan bahwa rakyat Indonesia di Surabaya.
Pemuda-pemuda yang berasal dari Maluku,
Pemuda-pemuda yang berawal dari Sulawesi,
Pemuda-pemuda yang berasal dari Pulau Bali,
Pemuda-pemuda yang berasal dari Kalimantan,
Pemuda-pemuda dari seluruh Sumatera,
Pemuda Aceh, pemuda Tapanuli, dan seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini.
Di dalam pasukan-pasukan mereka masing-masing.
Dengan pasukan-pasukan rakyat yang dibentuk di kampung-kampung.
Telah menunjukkan satu pertahanan yang tidak bisa dijebol.
Telah menunjukkan satu kekuatan sehingga mereka itu terjepit di mana-mana.

Hanya karena taktik yang licik daripada mereka itu saudara-saudara.
Dengan mendatangkan Presiden dan pemimpin-pemimpin lainnya ke Surabaya ini. Maka kita ini tunduk untuk memberhentikan pertempuran.
Tetapi pada masa itu mereka telah memperkuat diri.
Dan setelah kuat sekarang inilah keadaannya.

Saudara-saudara kita semuanya.
Kita bangsa indonesia yang ada di Surabaya ini akan menerima tantangan tentara Inggris itu,
dan kalau pimpinan tentara inggris yang ada di Surabaya.
Ingin mendengarkan jawaban rakyat Indonesia.
Ingin mendengarkan jawaban seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini.
Dengarkanlah ini tentara Inggris.
Ini jawaban kita.
Ini jawaban rakyat Surabaya.
Ini jawaban pemuda Indonesia kepada kau sekalian.

Hai tentara Inggris!
Kau menghendaki bahwa kita ini akan membawa bendera putih untuk takluk kepadamu.
Kau menyuruh kita mengangkat tangan datang kepadamu.
Kau menyuruh kita membawa senjata-senjata yang telah kita rampas dari tentara jepang untuk diserahkan kepadamu
Tuntutan itu walaupun kita tahu bahwa kau sekali lagi akan mengancam kita untuk menggempur kita dengan kekuatan yang ada tetapi inilah jawaban kita:
Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah
Yang dapat membikin secarik kain putih merah dan putih
Maka selama itu tidak akan kita akan mau menyerah kepada siapapun juga

Saudara-saudara rakyat Surabaya, siaplah keadaan genting!
Tetapi saya peringatkan sekali lagi.
Jangan mulai menembak,
Baru kalau kita ditembak,
Maka kita akan ganti menyerang mereka itukita tunjukkan bahwa kita ini adalah benar-benar orang yang ingin merdeka.

Dan untuk kita saudara-saudara.
Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka.
Semboyan kita tetap: merdeka atau mati!

Dan kita yakin saudara-saudara.
Pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita,
Sebab Allah selalu berada di pihak yang benar.
Percayalah saudara-saudara.
Tuhan akan melindungi kita sekalian.

Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!
Merdeka!!!

Sementara itu, Soekarno berpidato dengan menggunakan bahasa Inggris, direkam di tape recorder, lalu disiarkan ke seluruh dunia. Melalui pidato itu, Soekarno melancarkan protes ke PBB. Soekarno juga mendesak Presiden Amerika Serikat Harrys S. Truman untuk turun tangan menghentikan aksi militer Inggris. Namun, protes Soekarno tidak dihiraukan Amerika Serikat dan PBB. Kepada para pejuang dan rakyat Indonesia, Soekarno menyerukan “Tetap Merdeka! Kedaulatan Negara dan Bangsa Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 akan kami pertahankan dengan soenggoeh-soenggoeh, penoeh tanggoeng djawab bersama, bersator, ikhlas berkorban dengan tekad ‘Merdeka atau Mati!’ Sekali merdeka tetap merdeka!”

Peristiwa 10 November ini juga tidak terlepas dari peran kaum ulama. Ulama besar seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, serta kyai-kyai pesantren lainnya, misalnya, menggerahkan santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai perlawanan.

Setelah tiga minggu, TKR, para pemuda, dan rakyat Surabaya berhasil mempertahankan Kota Surabaya dari pendudukan Inggris. Kota Surabaya memang hancur, tetapi pertempuran ini menunjukkan suatu semangat serta sikap pantang mundur pejuang dalam mempertahakan kemerdekaan.

Untuk mengenang perjuangan rakyat Surabaya, di kota ini kemudian dibangun Tugu Pahlawan dan setiap tanggal 10 November dipeirngayi sebagai Hari Pahlawan.

Referensi:
https://www.merdeka.com “Ini pidato Bung Tomo yang membakar semangat rakyat Surabaya 10 November 1945”

Mas Pur Seorang freelance yang suka membagikan informasi, bukan hanya untuk mayoritas tapi juga untuk minoritas. Hwhw!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *